Minggu, 11 November 2012

Humanisme Renaisans Hingga Kini?



“This century, like a golden age, has restored to light the liberal arts . . . poetry, rhetoric, sculpture, architecture, music . . . and all this in Florence.”  (Marsilio Ficino, 1492)

Begitulah sebuah ungkapan yang bisa mewakili deskripsi Zaman Renaisans (Renaissance) yang merupakan zaman kelahiran kembali dan sering dihubungkan pada masa setelah Zaman Pertengahan (Middle Age). Sebenarnya, apa yang dilahirkan kembali? yang dilahirkan kembali adalah ketertarikan dan kecintaan pada ilmu pengetahuan, terutama segala sesuatu yang berhubungan tentang Romawi dan Yunani. Tidak seperti pada Zaman Pertengahan, ketika kebanyakan penduduk Eropa hanya belajar ilmu agama, sekitar tahun 1300-an mereka juga memelajari puisi, sejarah, seni, Bahasa Romawi dan Yunani. Kesemua ilmu itu dikenal sebagai ilmu humaniora, karena lebih mengeksplorasi segala hal tentang kegiatan manusia daripada ilmu tentang sifat-sifat Tuhan.


Pembelajaran humaniora menggiring pada gerakan humanisme, yaitu gerakan yang menitik beratkan pada eksplorasi pikiran, kemampuan, dan tindakan manusia. Para kafilah, saudagar, pengembara dan seniman memiliki arti penting dalam penyebaran Renaisans ke seluruh Eropa. Berawal di Itali, kemudian berkembang menuju Perancis, Jerman, Nederland, Spanyol, dan puncaknya saat mencapai Inggris. Perkembangan Eropa juga memegang peranan penting dan menjadi pembuka bagi Revolusi Ilmiah, hal ini mengubah cara pandang penduduk Eropa tentang dunia. 


Segala perkembangan yang terjadi mendorong gerakan Enlightenment (pencerahan) yang menimbulkan beragam revolusi dan membuat beberapa negara menyesuaikan dengan paham Enlightenment tersebut, bahkan Ratu Elizabeth memiliki kalimat khas dan terasa humanis “I have the body but a weak and feeble woman, but I have the heart and stomach of a king”. Tak berhenti di sana, ragam revolusi yang terjadi seperti timbulnya Kristen Protestan, Rovolusi Industri, Revolusi Perancis, Perang Dunia dan lain sebagainya secara berurutan memengaruhi gelombang dan pola pikir humanisme. Sehingga, setelah romantisisme bermunculanlah aliran dadaisme, realisme, naturalisme, realisme sosialis, simbolisme, impresionisme, ekspresionisme, surealisme, imajisme,  modernisme, eksistensialisme, absurdisme dan posmodernisme. 


Karya-karya sastra beraliran romantisisme, aliran dadaisme, realisme, naturalisme, realisme sosialis, simbolisme, impresionisme, ekspresionisme, surealisme, imajisme,  modernisme, eksistensialisme, absurdisme dan posmodernisme secara berkesinambungan membahas humanisme dalam beragam perspektif.  Shakespeare dalam drama King Lear, Hamlet dan Macbeth berisi cerita tragedi suatu kepemimpinan.  Emil Zola dalam karya-karya (Nana dan Renee) mengeksplorasi tubuh bahkan banyak yang menganggapnya pornografi. Begitu pula, Guy De Maupassant (The Necklace) dan Gustave Falubert (Madam Bovary) melalui karyanya sama-sama bercerita tentang upaya dan tindakan manusia terhadap material. Mathilda (The Necklace) dan Madam Bovary (Madam Bovary) berhasrat secara nyata pada segala macam materi dan kebahagiaan duniawi. Hingga saat ini pun, meski sudah tidak terlalu kentara adanya perubahan aliran pada suatu masa, humanisme menjadi tema yang selalu ramai diperbincangkan.


“People do not change, around does “ --Henry David Thoreau.
Mungkin inilah yang membuat tema humanisme selalu laku dan menarik. Pada dasarnya manusia memiliki intuisi yang sama, hanya saja lingkungan yang membuat perspektif, aksi dan tindakan dari cerita manusia tersebut yang berbeda.

Derogasi Tubuh dan Glorifikasi Bahasa



Derogasi Tubuh dan Dunia Materi 


Tak dapat disangkal bahwa penyampaian sebuah cerita (apa pun  bentuknya) selalu memiliki kepentingan di baliknya. Baik untuk mendominasi, mensugesti, menasihati atau  sekadar menghibur. Sejalan dengan perkembangan zaman tradisi bercerita pun muncul. Baik secara lisan sebagai pembuka upacara adat pun sebagai hiburan saat mengelilingi api unggun. 


Kepentingan yang mendasari penceritaan dibalut dalam kemasan menarik, sehingga orang yang mendengar, membaca dan menanggapi cerita tersebut (tidak merasa dipaksa untuk) memercayainya adalah hal yang lumrah.  Hal demikian sering disebut derogasi atau pengurangan nilai rasa terhadap tubuh dan dunia materi. Contohnya pada cerita Legenda Sangkuriang terdapat tokoh Tumang yang merupakan seekor Anjing Hitam dan Ibunya Dayang Sumbi yang diceritakan sebagai Babai Hutan berwarna putih. Hal ini, mungkin lekat dengan ajaran Hindu atau Budha karena babi bisa menjadi simbol kemakmuran, kesejateraan dan kekayaan. Penceritaannya mungkin digunakan untuk kepentingan agama Hindu, Budha atau bahkan Islam. Selain itu, ada pula Cerita Perjalanan ke Barat yang bertokoh; Sun Go Kong, kera; Cu Pat Kai, babi; Wu Jing, kerbau. Dalam cerita Ramayana pun terdapat Hanoman, kera putih yang terlahir sebagai penebus dosa Ibunya yang melakukan tapa.


 Ada pula cerita klasik Pangeran Kodok yang berubah menjadi Pangeran Manusia, Srigala yang akan memakan Si Gadis Berkerudung Merah, Manusia Serigala yang kini menjadi trend karena tetralogi novel Twillight, bahkan ada Medusa perempuan cantik berambut ular dan Angsa yang diceritakan sebagai ibu dari Helena Troya. Ada banyak latar belakang kepentingan sehingga hal semacam itu disampaikan. Penafsiran atas derogasi tersebut tidak bersifat kaku, bahkan kini banyak penafsiran dan interpretasi baru dalam bentuk media film misalnya (novel dan film Twillight dan film Red Hood Riding). 


Ada pula cerita yang menyiratkan dunia material, misalnya bahwa badan/ragawi tidak lebih berharga dari pada jiwa. sehingga dalam alur cerita digambarkan bahwa seseorang yang ingin mencapai moksa harus merelakan harta bahkan raganya (dalam istilah kosmologi Sunda: Ngahyang). Contohnya dalam cerita Raja Oedipus yang harus merelakan matanya untuk dibutakan sebagai penebusan dosa dan Dewi Sri (Nyai Pohaci) yang harus merelakan badannya yang kemudian tumbuh menjadi panganan utama (beras) dan tumbuhan lainnya yang bermanfaat bagi manusia.

 Glorifikasi Bahasa 


Selain menggunakan derogasi tubuh dan dunia material, penggunaan bahasa-bahasa asing dalam sebuah cerita kadang menjadi suatu cara melegitimasi kekuasaan atau rasa penghormatan. Hal demikian dikenal dengan istilah glorifikasi atau pemuliaan bahasa dan teks. Misalnya pada penggunaan kata; khitan, sunat; khilaf, lupa/salah; mahar, mas kawin; nikah, kawin;khilal, bulan baru; hajat/ acara/ kenduri/perhelatan/ pesta/ resepsi/ selamatan/ walimah/ cinta. Selain itu, banyak pula cerita-cerita yang disisipi istilah Bahasa Sanskrit, Bahasa Arab, Bahasa India, Bahasa Belanda, Bahasa Inggris yang kini terlihat sisa-sisanya pada kata serapan bahasa asing yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Rabu, 07 November 2012

Sastra Terjemahan (sebagai) Sastra Dunia

Sastra Terjemahan

Setelah ditemukannya sistem bercocok tanam dan irigasi manusia mulai berdomisili dan memiliki waktu untuk mengembangkan pikiran tentang Tuhan, teknologi (stone age tools), penampilan juga hubungan sosial (kejauhan ya mulainya). Berawal dari cerita lisan dan hipograf manusia (yang dianggap) cerdas saat itu mulai berkisah yang dikenal sebagai Zaman Prasejarah, hingga akhirnya menemukan metode tulisan sebagai salah satu media berketuhanan, sosial dan tanda memasuki Zaman Sejarah. Kisah-kisah yang berkembang saat itu tentu saja dalam beragam alur dan beragam bahasa, bergantung pada wilayah dan teritorialnya yang saat ini dikenal dengan istilah bangsa.

 

Bagaimana karya sastra dari suatu bangsa dapat dibaca dan dipahami oleh bangsa di belahan dunia lain yang mungkin memiliki perbedaan bahasa dan budaya? Hal tersebut dimungkinkan terjadi dengan adanya proses transliterasi atau penerjemahan. Ada beberapa karya sastra yang mengalami satu kali penerjemahan, penerjemahan yang marak dilakukan saat ini adalah penerjemahan dari  Bahasa latin- Bahasa Inggris (Pentateuch, syair Beowulf), Bahasa Sanskrit - Bahasa  Inggris (Mahabarata dan Ramayana), Bahasa Perancis - Bahasa Inggris (L’Assommoir, la Conquete de Plassans, Three Musketeers), Bahasa Rusia - Bahasa Inggris (The Mother dan City of the Yellow Devil), Bahasa Jerman – Bahasa Belanda (Anne Frank) dan Bahasa Inggris – Bahasa Indonesia (Oliver Twist, Chicken Soup). 

 

Ada pula karya sastra yang mengalami beberapa kali penerjemahan dalam perjalanannya mengelilingi dunia, seperti Bahasa Perancis – Bahasa Inggris – Indonesia (Madam Bovary), Bahasa Rusia – Bahasa Inggris – Bahasa Indonesia (Anna Karenina), Bahasa Arab – Bahasa Inggris – Bahasa Indonesia (Perempuan di Titik Nol, Matinya Seorang Mantan Menteri).

 

Penerjemahan adalah ”Proses, cara, perbuatan menerjemahkan; pengalihbahasaan” (KBBI, 2008: 1510) dan menerjemahkan adalah “Menyalin (memindahkan) suatu bahasa ke bahasa lain” (KBBI, 2008: 1509). Menilik dari definisi tersebut, maka proses penerjemahan semestinya tidak berhenti pada penyusunan teks ke dalam bahasa lain. Tapi juga mengupayakan rasa dan budaya karya sastra tersebut tetap hadir meski dalam bahasa yang lain, atau secara umum disebut karya sastra terjemahan.

 

Sebenarnya penerjemahan atau karya sastra terjemahan tidak hanya ramai dilakukan pada karya sastra modern, hal ini juga dilakukan pada karya sastra klasik seperti Mahabarata, Ramayana, Iliad, Odyssey, Perjalanan ke Barat, Seribu Satu Malam, Pentateuch, Syair Oedipus, Syair Beowulf dan lain sebagainya. 

 

Beragamnya bahasa yang digunakan dalam masing-masing karya di atas, membuat penerjemahan perlu dilakukan. Terlepas dari latar belakang, kepentingan dan tujuan penerjemahan yang berbeda-beda, hampir semua karya sastra di atas telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Peranan Bahasa Inggris sebagai Bahasa Internasional memungkinkan penerjemahan kembali karya sastra tersebut ke dalam bahasa-bahasa lain di seluruh dunia.

 

Seperti dikutip Pramesti, menurut pendapat Barnwell dalam Suryawinata (2003)

 “[B]aik tidaknya atau tepat tidaknya hasil terjemahan tergantung pada tiga komponen yaitu accuracy, clarity, dan naturalness. Accuracy atau ketepatan artinya pemahaman pesan bahasa sumber yang tepat dan pengalih makna pesan setepat mungkin dalam bahasa sasaran. Clarity atau kejelasan artinya terdapat beberapa cara pengungkapan suatu gagasan dengan jelas. Naturalness atau kewajaran artinya hasil terjemahan itu efektif dan tingkat keberterimaannya tinggi. Terjemahan hendaknya tidak terasa kering atau terdengar ganjil. Penerjemah hendaknya berusaha keras untuk mendapatkan padanan yang sebaik mungkin dengan mempertimbangkan  kriteria di atas.” 

 

 Oleh karena itu, sebenarnya pembaca sastra terjemahan bersandar pada kemampuan berbahasa penerjemah. Selain harus menguasai ragam bahasa, penerjemah juga harus mengetahui, memahami atau (mungkin) mengalami budaya asal dalam karya yang akan diterjemahkan. Sehingga, penerjemah dapat memilih (baik secara sadar pun tidak) mengenai penyajian budaya asal dalam karya sastra tersebut. 

 

Penafsiran, kajian dan pemaknaan biasa terjadi dalam proses penerjemahan. Sehingga, tidak heran terjadi penafsiran, kajian dan pemaknaan ulang semisal dari karya epos Mahabarata, Ramayana, Iliad, Odyssey, Perjalanan ke Barat, Seribu Satu Malam, Pentateuch, Syair Oedipus, Syair Beowulf dan lain sebagainya dalam kemasan wacana baru. Bahkan, menimbulkan beragam varian dan versi yang diyakini menjadi milik juga identitas komunitas tertentu.

 

Meski karya sastra terjemahan saat ini sering dianak tirikan (dalam hal ini mengenai analisis akademis) tapi sebenarnya karya sastra terjemahan memiliki peranan penting dalam ekspansi karya sastra dunia, hingga dikenal sebagai sastra dunia seperti saat ini.

 

Dengan demikian, idealnya karya sastra terjemahan sebisa mungkin mempertahankan rasa, suasana dan budaya yang sama dengan karya asalnya, baik itu disesuaikan dengan budaya bahasa penerjemah pun bila tetap mempertahankan rasa, suasana dan budaya karya asalnya. 

 




Penafsiran, Kajian dan Pemaknaan Ulang ; Refleksi Ideal Tokoh dan Alur Kehidupan

Menilik penafsiran, kajian dan pemaknaan ulang yang terjadi dalam penerjemahan ternyata tetap ada pakem baik sadar pun tidak dipatuhi bersama: tetap memiliki alur kisah  dan tokoh yang sama. Alur kisah yang dimaksud adalah berjuang menghadapi rintangan kemudian mendapatkan gelar, berakhir dengan kebahagiaan dan menjadi semacam refleksi ideal suatu tokoh dan alur kehidupan. Seperti penceritaan kembali tokoh-tokoh kerajaan yang dilakukan William Shakespeare dalam drama Macbeth, King Lear, Richard III, dan lainnya (pada Zaman Renaissans), bukan tidak mungkin hal tersebut juga terjadi dalam isi cerita naskah kuna (semisal) Angling Dharma yang diyakini sebagai naskah drama mutakhir di zamannya, lakon pewayangan, bahkan kini memiliki varian dan versi baru dalam novel-novel mutakhir Indonesia salah satunya novel  “Anak Bajang Menggiring Angin” karya Sindhunata  yang berlatar Ramayana. Hal ini menunjukan bahwa karya epos tersebut sulit untuk dikategorikan sebagai refleksi realitas sosial masyarakat pada zamannya.

 

Uniknya, alur cerita upaya dan perjuangan menghadapi rintangan tersebut karena adanya khaos dalam tatanan yang dalam cerita tersebut dapat dianggap sudah mapan; Pandawa Lima yang harus berperang melawan Kurawa padahal diceritakan sama-sama keturunan kerajaan dan masih memiliki hubungan kekerabatan; Rama, Shinta dan Laksmana yang harus mengasingkan diri dan berjuang melanjutkan hidup di hutan belantara padahal jelas-jelas diceritakan bahwa Rama adalah Putera Mahkota; Strategi perang dengan Kuda Trojan pada Iliad; Beowulf yang harus mengalahkan monster dalam balutan intrik; dan sebagainya.

 


Konflik dan Solusi

 

Semua alur alur cerita tersebut seolah membutuhkan konflik dan resolusi demi memenuhi kebutuhan kerangka naratif.  Jarang ada penerjemahan pun saduran yang diakhiri dengan akhir terbuka, selalu harus berhasil dan happy ending karena memang itulah yang diharapkan. Meski demikian, hasrat ideal akan tokoh dan alur kehidupan tetap memiliki nilai dan makna yang sering disebut dengan kearifan lokal.

 

Kearifan lokal inilah yang membuat masyarakat pendukungnya tetap bangga dan merasa butuh untuk menyandarkan cerita kehidupan dirinya pada epos Mahabarata, Ramayana, Iliad, Odyssey, Perjalanan ke Barat, Seribu Satu Malam, Pentateuch, Syair Oedipus, Syair Beowulf dan lainnya.

 

Bibliografi

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa

 

Pramesti, M. Rayhan Candraditya. 2012. Proses Penerjemahan Puisi. Tersedia pada [ http://doeniadevi.wordpress.com/2009/10/20/proses-penerjemahan-puisi/]