“This
century, like a golden age, has restored to light the liberal arts . . .
poetry, rhetoric, sculpture, architecture, music . . . and all this in
Florence.”
(Marsilio
Ficino, 1492)
Begitulah sebuah ungkapan yang bisa mewakili
deskripsi Zaman Renaisans (Renaissance) yang merupakan zaman kelahiran kembali dan sering dihubungkan pada masa
setelah Zaman Pertengahan (Middle Age).
Sebenarnya, apa yang dilahirkan kembali? yang dilahirkan kembali adalah
ketertarikan dan kecintaan pada ilmu pengetahuan, terutama segala sesuatu yang
berhubungan tentang Romawi dan Yunani. Tidak seperti pada Zaman Pertengahan,
ketika kebanyakan penduduk Eropa hanya belajar ilmu agama, sekitar tahun
1300-an mereka juga memelajari puisi, sejarah, seni, Bahasa Romawi dan Yunani. Kesemua
ilmu itu dikenal sebagai ilmu humaniora, karena lebih mengeksplorasi segala hal
tentang kegiatan manusia daripada ilmu tentang sifat-sifat Tuhan.
Pembelajaran humaniora
menggiring pada gerakan humanisme, yaitu gerakan yang menitik beratkan pada
eksplorasi pikiran, kemampuan, dan tindakan manusia. Para kafilah, saudagar, pengembara
dan seniman memiliki arti penting dalam penyebaran Renaisans ke seluruh Eropa. Berawal di Itali, kemudian berkembang menuju Perancis, Jerman, Nederland,
Spanyol, dan puncaknya saat mencapai Inggris. Perkembangan Eropa juga memegang
peranan penting dan menjadi pembuka bagi Revolusi Ilmiah, hal ini mengubah cara
pandang penduduk Eropa tentang dunia.
Segala perkembangan
yang terjadi mendorong gerakan Enlightenment (pencerahan) yang
menimbulkan beragam revolusi dan membuat beberapa negara menyesuaikan dengan
paham Enlightenment tersebut, bahkan Ratu
Elizabeth memiliki kalimat khas dan terasa humanis “I have the body but a weak and feeble woman, but I have the heart and
stomach of a king”. Tak berhenti di sana, ragam revolusi yang terjadi seperti
timbulnya Kristen Protestan, Rovolusi Industri, Revolusi Perancis, Perang Dunia
dan lain sebagainya secara berurutan memengaruhi gelombang dan pola pikir
humanisme. Sehingga, setelah romantisisme bermunculanlah aliran dadaisme, realisme, naturalisme, realisme sosialis, simbolisme,
impresionisme, ekspresionisme, surealisme, imajisme, modernisme, eksistensialisme, absurdisme dan
posmodernisme.
Karya-karya sastra beraliran romantisisme, aliran
dadaisme, realisme, naturalisme, realisme sosialis, simbolisme,
impresionisme, ekspresionisme, surealisme, imajisme, modernisme, eksistensialisme, absurdisme dan
posmodernisme secara berkesinambungan membahas humanisme dalam beragam
perspektif. Shakespeare dalam drama King
Lear, Hamlet dan Macbeth berisi cerita tragedi suatu kepemimpinan. Emil Zola dalam karya-karya (Nana dan Renee) mengeksplorasi
tubuh bahkan banyak yang menganggapnya pornografi. Begitu pula, Guy De
Maupassant (The Necklace)
dan Gustave Falubert (Madam Bovary) melalui karyanya sama-sama bercerita tentang upaya
dan tindakan manusia terhadap material. Mathilda (The Necklace) dan Madam Bovary (Madam Bovary)
berhasrat secara nyata pada segala macam materi dan kebahagiaan duniawi. Hingga
saat ini pun, meski sudah tidak terlalu kentara adanya perubahan aliran pada
suatu masa, humanisme menjadi tema yang selalu ramai diperbincangkan.
“People do
not change, around does “ --Henry David Thoreau.
Mungkin inilah yang membuat tema humanisme selalu laku dan menarik. Pada dasarnya
manusia memiliki intuisi yang sama, hanya saja lingkungan yang membuat perspektif, aksi dan
tindakan dari cerita manusia tersebut yang berbeda.